.: Petualang Kehidupan :.

Hidup ibarat berpetualang, memerlukan bekal yang cukup untuk mencapai tujuan. Jika surga tujuanmu, sudah cukupkah bekal yang kau siapkan??

Aku Rakyat Jelata

luar biasa bukan ?Kau tau? Aku ini rakyat jelata loh.

Boleh jadi aku pernah mengambil peran sebagai pejabat publik, sebagai ustadz, sebagai ilmuwan, sebagai artis sekalipun. Namun sebenarnya aku ini rakyat jelata.

Setidaknya kalau aku ngomong tidak pernah menjadi omongan orang. Tidak pernah masuk berita koran ataupun masuk TV seperti para pejabat. Setidaknya kalau aku sedikit nakal bermaksiat, dosaku tidak berlipat-lipat seperti para ustad. Setidaknya kalau kalau aku berpoligami tidak akan menggegerkan seluruh pelosok negeri seperti para artis di Tipi. Meski aku berpikir 10x untuk melakukannya. Satu saja belum habis-habis.

Suer, aku ini rakyat jelata loh. Aku ingin menjadi rakyat jelata yang baik.

Kata orang aku ini termasuk orang cerdas. Namun meski sama-sama rakyat jelata yang cerdas, aku bukanlah Ken Arok yang haus kekuasaan. Yang dengan strategi licik merebut kekuasaan dengan membunuh gurunya (Empu Gandring), menghianati sahabatnya (Kebo Ijo) , dan menikam yang berkuasa saat itu (Tunggul Ametung), bahkan menikahi istri penguasa Tumapel itu (Ken Dedes).

Jadi jangan salahkan aku kalau aku ini tidak ikut demo kenaikan BBM kemarin, malah mendukungnya. Kalau ada acara mengutuk pemerintah, mohon maaf aku absen ya. Tapi kalau ada acara mendoakan dan mendukung program pemerintah aku akan hadir di situ. Tentunya dengan catatan kalau program bukan larangan Tuhan.

Siapa bilang menjadi rakyat jelata tidak enak?

Aku merasa bahagia kok. Betapa tidak? Yang aku pikirkan adalah urusanku, urusan keluargaku, urusan ternakku, sawahku. Lebih luas lagi, ikut Arisan, tahlilan, kerja bakti, menengok orang sakit, melayat, kondangan, bersama tetangga sekampung.

Aku tidak perlu memikirkan urusan politik atau apa itu namanya, yang katanya sangat kejam. Susah membedakan mana lawan mana kawan. Sekarang kawan besok lawan, atau sebaliknya. Aku tidak perlu berpusing-pusing memikirkan kondisi ekonomi bangsa ini. Ketika ada bencana alam aku tidak perlu dipusingkan untuk begini dan begitu. Cukuplah bagiku untuk berdoa untuk menyumbang. Karena aku bukanlah pemimpin yang bertugas melayani rakyatnya. Jangan salah, para pejabat pemerintah dari lurah sampai presiden itu dibayar negara untuk melayani kami para rakyat jelata.

Rakyat jelata sering diinjak-injak ?

Ah, siapa bilang. Emangnya aku sepatu? Atau kesed? Secara makna harfiah memang aku tidak pernah diinjak-injak. Kecuali oleh anakku yang paling kecil ketika aku pulang dari sawah. Aku yang memintanya menginjak-injak punggungku untuk menghilangkan rasa pegel, melancarkan aliran darah dan menggumpalkan asam laktat.

Sengsara? Bagi kami hal itu sudah biasa. Tidak perlu meratapinya. Sudah menjadi makanan sehari-hari sehingga pahitnya pun sudah tak terasa. Kami sudah sangat akrab dengan dua kata sabar dan sukur. Sabar menghadapi semua permasalahan hidup dan mensyukuri nikmat sekecil apapun yang dirasa. Kau tahu? Kami selalu bahagia.

Ketika musim kampanye, para calon-calon yang ingin ditoblos itu pasti jadi inget pada kami. Memberi sembako, menyumbang dana untuk karpet mushola, atau sekedar memberi bantuan langsung tunai. Eits, bukan sogokan loh. Itu sodakoh katanya. Jadi itu rejeki yang tidak boleh ditolak.

Ketika musim idul Adha, banyak hewan korban berdatangan di kampungku. Ada yang masih hidup, ada yang dalam bentuk daging, malahan ada yang dalam bentuk kornet. Mau tau dari mana? Dari sekolah, dari mahasiswa, dari lembaga zakat, dll. Itu semua menjadi nikmat tersendiri karena jarang-jarang seperti ini. Bukankah semakin jarang, akan menjadi semakin nikmat? Buka puasa terasa nikmat karena seharian tidak makan?

Pernah sih, sekali aku berakting menangis dan memelas. Itu karena aku disuruh oleh program acara TV. Katanya aku akan mendapat bantuan dan masuk TV kalau bisa berakting menangis. Apa salahnya? Toh itu Cuma pura-pura. Setidaknya aku menjadi sedikit terkenal di kampungku. Paijo masuk Tivi.

Menjadi rakyat jelata musti cerdas. Jangan sampai dibohongi dan dibodohi oleh pemimpin yang culas. Aku menyadari hal itu. Maka dari itu aku berusaha untuk sedikit menularkan kecerdasanku ini. Mengajak masyarakat untuk lebih melek politik. Ya, sekedar ngobrol di angkringan atau warung kopi. Sesekali tak apalah menjadi komentator dan pengamat amatiran. Yang boleh berkomentar dan mengamati bukan Cuma komentator bola dan pengamat politik bukan?

Mana mungkin ada negara ini kalau semua menjadi pemimpin atau penguasa. Bukankah keberadaan rakyat haruslah ada? Aneh bukan, kalau negara ini isinya pemimpin semua tanpa ada rakyatnya? Untung saja Tuhan itu adil. Surga tidak dikhususkan untuk pemimpin saja, atau orang yang kaya saja, tapi juga bagi rakyat jelata. Pemimpin yang adil, orang kaya yang dermawan, dan rakyat jelata yang bersabar.

Jangan bilang aku ini bodoh dan tak peduli. Karena aku memang rakyat jelata sih. Stt.., aku kasih tahu kamu. Sebenarnya aku ini pejabat publik, ustadz, ilmuwan, sekaligus artis. Tapi itu berlaku di keluarga kecilku sedikit-sedikit di kampungku. Namun aku lebih senang disebut rakyat jelata, karena memang aku rakyat jelata.

Yogya,12 14 2012
perpus JTMI yang wangi,
setelah ujian Termodinamika yang mengasyikkan

2 comments on “Aku Rakyat Jelata

  1. huraz
    12 April 2012

    Subhanallah. Sederhana, dan menggena =)

  2. Siti Lutfiyah Azizah
    13 April 2012

    rakyat jelata versi aktivis ato aktebel rid? :p

Tinggalkan Balasan ke huraz Batalkan balasan

Information

This entry was posted on 12 April 2012 by in Cerita Fiksi, opini.